Sabtu, 10 Oktober 2009

Mercury, Bahaya dibalik Indahnya Sebuah Nama

Mercury, sebuah nama cantik nan elok didengar telinga. Mengingatkan kita pada sebuah planet dalam sistem tata surya kita, Merkurius. Begitu cantiknya nama Mercury, sehingga banyak orbek (orang beken) memakai embel-embel Mercury di belakang namanya. Sebut saja, Freddy Mercury atau Poppy Mercury.

Sayang beribu sayang, nama Mercury ternyata juga “berbau” kematian. Dua nama orbek di atas, mati dalam usia muda. Nah, kabarnya - zat bernama Mercury (Hg) juga punya “gaung” menakutkan. Contoh paling mudah, pertambangan emas Pongkor di Bogor. Gara-gara pemakaian Mercury untuk proses pelarutan emas, air sungai di sekitar Pongkor tercemar berat. Akibatnya, masyarakat sekitarnya pun terkena dampaknya.

Gejala keracunan Mercury, walau sekarang belum tampak jelas, mulai terasa pada gurandil (pencari emas liar) di Pongkor. Hal yang sama juga terjadi di beberapa wilayah tambang emas Indonesia lainnya, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

Tragedi Minamata

Sebenarnya, ada kasus pencemaran Mercury yang gaungnya sangat menghentak. Kasus ini disebut tragedi Minamata. Imbas dari industrialisasi di Jepang, membuat Teluk Minamata menjadi bak sampah raksasa. Logam berat mencemari teluk cantik itu, termasuk di dalamnya tercemar pula oleh Methyl Mercury. Tak kurang, penduduk dari dua wilayah di pesisir Minamata, yaitu propinsi Kumamoto dan Kagoshima menjadi korban Mercury.

Padahal, di Minamata, Mercury terdeteksi sejak tahun 1956. Mercury Minamata ini merupakan limbah dari industri kimia Chisso Co Ltd. Meski telah terdeteksi, pihak perusahaan dan pemerintah Jepang saat itu seolah tutup mata. “Nasi terlanjur menjadi bubur” begitu kata peribahasa, saat tahun 1968 penduduk di sekitar Minamata mengalami penyakit aneh. Rata-rata dari mereka mengalami gejala sama yang khas, yaitu rusaknya sistem saraf, termasuk saraf otak.
Rusaknya saraf otak ini menimbulkan gejala mati rasa (baal), ketidakseimbangan gerak pada tangan dan kaki, kelelahan, kuping berdenging, penglihatan menyempit, ketulian pendengaran, sulit bicara dan bergerak.

Selidik punya selidik, hal ini disebabkan konsumsi ikan dan kerang dalam jumlah besar oleh para penduduk di sekeliling Minamata. Diyakini, ikan dan kerang itu sudah tercemar Methyl Mercury. Bak kata pepatah “siapa menabur angin, maka akan menuai badai” akibatnya dirasakan 10 tahun kemudian. Sekitar 17 ribu lebih penduduk seputar Minamata mengalami keracunan. Dari 2.262 penderita keracunan yang terdaftar di arsip pemerintah, 1.246 telah meninggal dunia. Pemerintah Jepang sendiri mengklaim bahwa jumlah penderita keracunan Mercury ini sebanyak 12.615 orang. Dan dari jumlah itu, 10.353 telah diberi santunan oleh Chisso Co Ltd.

Itulah hebatnya Merkury. Itu pun belum selesai. Generasi muda Minamata, ternyata mendapat tulahnya pula. Bayi-bayi yang lahir di era tersebut rata-rata mengalami penurunan intelegensia, cacat fisik, atau mutasi genetik. Penyakit-penyakit lain yang juga ada kaitannya dengan Mercury ini adalah penyakit kanker, ginjal dan hati.

Pemerintah dan Pakar Acuh Tak Acuh

Walau wajah Mercury begitu menakutkan, sayangnya pemerintah dan para pakar lingkungan seolah acuh tak acuh pada bahaya Mercury ini. Suatu penelitian menunjukkan, Teluk Jakarta merupakan teluk paling tercemar nomor tiga di dunia. Dan salah satu sumber pencemarnya adalah Mercury. Tak Percaya? Simak data yang yang diperoleh dari Buletin BELING atau Berita Lingkungan yang diterbitkan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Jakarta.
Kadar Merkuri di kawasan Muara Angke, untuk wilayah muara kadar Hg telah mencapai 0.027 ppm (dasar), Sungai Angke 0.163 ppm (permukaan) dan 011 ppm (dasar), tambak 134 ppm, sumur kampung nelayan 0.14 ppm, sumur perumahan bantuan Pemda 0.155 ppm. Di kawasan Ancol kadar Hg di permukaan muara sungai berkisar antara 0,0068 sampai 0,24 ppm. Di kawasan muara Sungai Blencong 0,100 ppm (permukaan), 0,023 ppm (dasar), dan 0,026 ppm di tambak. Ingin tahu nilai ambang batas untuk Hg? Hanya 0,005 ppm! atau setara dengan satu ppb (part per billion)! Artinya, data yang diambil dari Muara dan Teluk Jakarta, jauh melampaui nilai ambang batas.

Supaya lebih afdol, ada baiknya jika kita buka data hasil pemeriksaan BATAN, Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian, yang mengambil 57 sample hasil laut. Tongkol, Tenggiri, Kembung, Bawal Putih, Bawal Hitam, Udang, Kerang, Kepiting, 40 ekor diantaranya mengandung Hg di atas 0,3 ppm. Sementara itu, penelitian yang dilakukan KSPL yang mengambil 11 sample menyebutkan, 7 sampel diantaranya mengandung Hg di atas 0,3 ppm.

Berdasarkan PTWI (Profesional Torerable Weekly Intake) yang ditentukan WHO/FAO, kadar Mercury yang aman dikonsumsi adalah 0,3 mg perminggu. Secara sederhana bisa diambil kesimpulan, dua dari tiga ekor ikan laut hasil tangkapan di kawasan Teluk Jakarta tidak aman untuk dikonsumsi. Waduh, ini kabar buruk bagi pecinta sea food di Muara Karang!

Kondisi keracunan Mercury pun sudah mulai terlihat pada para gurandil di Pongkor, Jawa Barat. Banyak dari mereka yang mulai merasa gatal-gatal, sesak nafas, tremor, tuli, dan sulit mengatur gerakan. Menurut Ketua HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) Dr Hening Darpito, kadar Mercury pada rambut keluarga penambang di Pongkor telah mencapai angka 12,33 ppm. Padahal menurut WHO, kadar normal Mercury pada rambut hanya dua hingga tujuh ppm.

Yang juga cukup menyedihkan adalah kabar yang diterima dari Pontianak sana. Berdasarkan penelitian Dr Thamrin Usman DEA, Pakar Kimia Universitas Tanjungpura diketahui bahwa Mercury telah mencemari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Penelitian Dr Thamrin ini memperkuat penelitian sebelumnya yang dilakukan pakar lingkungan Mardan Adijaya Phd. Penyebab utama tercemarnya air PAM Pontianak oleh Mercury adalah adanya sejumlah lokasi Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di sepanjang sungai Kapuas. Hal ini juga mengakibatkan beberapa jenis ikan di sungai tersebut tidak aman dikonsumsi. Ikan yang dimaksud adalah ikan Lais, Belidak, Toman, Gabus, dan Baung.

Mengenai tercemarnya air PAM oleh Mercury, Dr Hening Darpito mengatakan, pencemaran air PAM oleh Mercury tidak bisa diatasi hanya dengan cara penyaringan, koagulasi kopulasi, pengendapan, atau pemberian tawas. Hal ini karena Mercury di air berbentuk ion.

“Cara terbaik untuk menghilangkan Mercury dalam air ini adalah dengan pertukaran ion. Yaitu mempergunakan suatu resin yang mampu mengikat ion Mercury hingga menjadi jenuh, kemudian diregenerasi kembali dengan penambahan suatu asam, sehingga Mercury bisa dinetralisir,” ujar Hening yang ditemui
pdpersi.co.id di kantor Ditjen P2M dan PLP Depkes, Jakarta, Rabu(27/9).

“Namun karena biaya ionisasi ini sangat mahal, maka biaya termurah dan terbaik adalah dengan mencegah Mercury tidak masuk perairan,” kata Hening. “Cara lain, yaitu penyulingan. Tapi setali tiga uang, biaya yang akan dikeluarkan untuk penyulingan pun sangat mahal,” tambahnya.

Artinya, jika Mercury sudah terlanjur masuk air, upaya yang dilakukan PDAM adalah dengan menambahkan input sumber-sumber air sehingga konsentrasi Mercury dalam air akan menurun. “Tetapi sumber pencemarannya harus distop!” tegas Hening.

Artinya, ini kembali pada soal koordinasi unsur-unsur masyarakat terkait. Khususnya untuk kasus PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin), menurut Hening, kebijakan publik, Gubernur, Bupati, dan Departemen Pertambangan sangat menentukan dalam mengurangi pencemaran sungai. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan pada masyarakat penambang. Tentu saja bukan perkara yang mudah, sebab penggunaan Mercury berkait dengan mata pencaharian serta juga pendapatan daerah. Bak makan buah simalakama, mana yang lebih penting, urusan perut atau urusan lingkungan, yang dampaknya tentu pada kesehatan. Itulah dilemanya.

Begitulah hebatnya Mercury. Dibalik namanya yang cantik, ternyata ada maut yang mengintai. Tidakkah terbuka mata kita pada bahaya Mercury?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar