Sabtu, 10 Oktober 2009

Aspek Biomedis Tungau Debu Rumah

Dewasa ini masalah penanggulangan asma menjadi bahasan menarik karena makin banyak jumlah dan jenis obat antiasma yang tersedia. Meningkatnya penjualan obat antiasma ternyata tidak mengurangi jumlah penderita. Bahkan di beberapa negara terjadi kenaikan prevalensi, morbiditas dan mortalitas asma, sehingga penatalaksanaan penyakit tersebut perlu ditinjau kembali.

Selama ini pengobatan asma terutama ditujukan untk menghilangkan gejala penyakit dengan bronkodilator karena pada asma terjadi peningkatan reaktifitas bronkus akibat inflamasi. Sekarang penggunaan obat tersebut mulai dipersoalkan karena sebagian obat bila dipakai secara teratur dalam jangka waktu yang panjang justru meningkatkan beratnya penyakit. Adapun penyebab peningkatan beratnya penyakit atau reaktivitas bronkus, seharusnya pengobatan ditujukan pada kelainan yang mendasari peningkatan reaktivitas bronkus yang diakibatkan inflamasi. Pajanan alergen menyebabkan inflamasi, maka mengurangi atau menghindari alergen tersangka seharusnya merupakan pilihan terapi utama. Dari berbagai jenis alergen yang erat kaitannya dengan asam adalah house dust mite/tungau debu rumah (TDR).

Peranan TDR terhadap asma bronkial sudah tidak diragukan lagi. Penelitian epidemologis Dowse et al menunjukkan TDR berperan sangat penting pada kenaikan prevalensi asma di South Fore, Papua New Guniea. Bila 10 tahun sebelumnya di daerah tersebut hanya didapatkan prevalensi asma sebesar 0,28%, maka saat diteliti telah menjadi 7,3%. Penjelasan satu-satunya mengenai kenaikan prelevansi tersebut adalah pemakaian selimut wool yang mengandung TDR sangat tinggi.

Selain mencetuskan asma, TDR juga mensensitasi dan menginduksi rinitis dan dermatitis atopik pada penderita dengan penyakit alergi. TDR jenis Dermatophagoides pteronyssinus dan Dermatophagoides farinae telah diidentifikasikan sebagai alergen hirup yang sangat berperan sebagai faktor resiko timbulnya asma dan dermatitis atopik. Sehubungan dengan hal tersebut untuk mengurangi sensitasi, serangan asma akut, maupun kronisasi penyakit alergi maka penderita harus menghindari TDR dan bila mungkin memberantas kehadiran TDR dilingkungannya.

Taksonomi
TDR termasuk ke dalam filum Artropoda, kelas Arachnida, ordo Acari, subordo Astigmata, dan famili Pyroglyphidae terdiri dari 16 genus dan 46 spesies. Tiga belas spesies dapat ditemukan pada debu rumah, tiga diantaranya adalah sumber alergen TDR yaitu D.pteronyssinus, D.farinae,dan Glycypahgus destructor. Beberapa tungau yang dikelompokkan sebagai domesticmite yaitu jenis tungau yang hidup di lingkungan manusia adalah TDR (famili Pyroglyphidae), tungau gudang (famili Acaredai, Glyiphagidae dan Chortoglyphidae) dan tungau predator (famili Cheyletidae).

Epidemiologi
Debu terdiri dari partikel detrimen yang berasal dari rambut, daki, bulu binatang, sisi makanan, serbuk sari, skuama, bakteri, jamur. virus dan serangga kecil. Dalam debu rumah terdapat TDR yang banyak ditemukan pada rumah yang lembab, kasur kapuk, bantal, guling, serta perabot rumah yang lain. Sumber debu yang mengandung TDR terbanyak adalah debu kamar tidur terutama debu di kasur kapuk.

Di Jakarta Pusat, Aulung et al telah memeriksa 5.237 gram debu rumah yang berisi 343 tungau. Setelah diidentifikasi ditemukan 6 genus dan didominasi Glycyphagus sebanyak 149 tungau (42,6%). Pada penelitian lanjutannya dilaporkan dari 5.411 gram debu rumah diperoleh 876 tungau yang terdiri atas 7 genus dan yang terbanyak adalah Glycyphagus (352 tungau). Pada penelitian Sundaru di Jakarta dari 32,6 gram debu rumah yang berasal dari 20 rumah penderita asma, didapatkan tungau sebayak 1.480 yang terdiri atas 10 genus. Genus yang paling banyak ditemukan adalah Glycyphagus sebanyak 582 tungau. Manan et almelaporkan pada 10 penderita rumah penderita asma ditemukan 9 genus dan tungau yang terbanyak adalah Glycyphagus. Di Kolombia genus Glycyphagus juga merupakan TDR yang dominan. Cuthbert, at al yang melakukan penelitian di gudang hasil pertanian juga mendapatkan bahwa tungau yang terbanyak adalah genus Glycyphagus

Di dalam rumah TDR paling banyak dijumpai pada perabot kamar tidur (582 tungau) dan paling sedikit pada hiasan rumah (186 tungau). pada perabot rumah yaitu meja, kursi, rak buku dan lemari didapatkan 349 tungau sedangkan pada lantai rumah didapatkan 363 tungau. Pada penelitian yang dilakukan di daerah perumahan BTN Pamulang dilakukan pemeriksaan terhadap 156,03 gram debu kasur kapuk didapatkan jumlah TDR rata-rata 147 tungau per gram debu kasur dengan jumlah total tungau 26.470 yang terdiri dari 5 genus yaitu D.pteronyssinus, D.farinae, G.destructor, Suidasia medinensis, Cheiletus eredutus dan didominasi oleh D.pteronyssinus serta G.destructor.

Keberadaan tungau pada perabot kamar tidur erat kaitannya dengan makanan tungau. Skuama merupakan makanan pokok TDR dan di tempat tidur banyak tersedia skuama karena manusia menghasilkan skuama 0,5g - 1, g per hari sehingga TDR dapat tumbuh subur. Selain itu perabot kamar tidur yang terdiri atas kasur, selimut, gorden, seprei banyak mengandung serat-serat yang lebih mudah menampung debu dari pada perabot rumah lainnya. Oleh karena itu dapat dimengerti mengapa TDR banyak ditemukan di perabot kamar tidur.

Faktor-faktor fisik seperti suhu dan kelembaban merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme dalam rumah. Tungau sangat peka terhadap kelembaban relatif. pada kelembaban 60% atau lebih rendah populasi TDR ditemukan sangat sedikit atau mati. Secara umum suhu optimal bagi perkembangan TDR adalah 25o-30oC dan kelembaban relatif 70-80 %. Perkembangbiakan TDR akan terganggu pada suhu diatas 32oC dan jika tungau dipanaskan selama 6 jam pada suhu 51oC dengan kelembaban udara 60 % mka tungau akan mati.

Siklus hidup
Tungau bersifat ovipar. Tungau betina mulai meletakkan telurnya 3-4 hari setelah kopulasi kemudian mengalami tiga kali masa oviposisi. Pada suhu 25oC masa oviposisi 1 berlangsung selama 20 ahri dan jumlah telur yang dihasilkan sebanyak 25-50 butir. produksi telur perhari 2-3 telur. Oviposisi 2 menghasilkan 15-30 butir telur selanjutnya jumlah telur akan semakin berkurang pada oviposisi berikutnya. Pada suhu 20oC tungau memerlukan waktu dua kali lebih lama untuk siklus reproduksinya dan periode reproduktifnya diperkirakan 26-34 hari pada kelembaban 75 %. o Telur menetas menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki, stadium larva mengalami pergantian kulit dan berkembang menjadi stadium nimfa yang mempunyai 4 pasang kaki. Sebelum nimfa yang berubah menjadi tungau dewasa, nimfa mengalami 2 tingkatan yang disebut protonimfa dan tritonimfa. Perubahan dari telur menjadi larva memerlukan waktu 5-6 hari, larva menjadi protonimfa 7 hari, protonimfa menjadi tritonimfa 7 hari. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan tungau dewasa kuirang drai 20 hari. Tungau jantan mempunyai masa hidup selama 60-80 hari sedangkan tungan betina 100-150 hari tergantung dari pada suhu, kelembaban serta jumlah makanan yang tersedia.

Jumlah dan keberadaan tungau disuatu tempat bergantung pada suhu, kelembaban dan jumlah makanan yang tersedia. Tungau terutama D.pteronyssinus dapat hidup omnivora (pemakan segala). Makanan TDR adalah skuama, daki, dan sisa makanan. Dalam satu hari manusia menghasilkan skuama 0,5g - 1g dimana 1 mg skuama dapat mencukupi kebutuhan makan satu tungau selama 20 bulan. Tempat yang hangat, lembab, gelap merupakan media yang baik untuk pertumbuhan TDR. Di dalam rumah TDR hidup bercampur degan debu yang terdapat di kasur, karpet, sofa maupun peralatan rumah tangga lainnya. Bila tungau terpajan keadaan yang kurang menguntungkan misalnya panas, cahaya, masin penghisap debu dan perubahan kelembaban tungau dpat bergerak lebih cepat, bersembunyi, berkumpul dan memcengkeram serat kain.

Alergen TDR
Tungau merupakan komponen alergenik utama debu rumah. Bagian TDR yang mengandung alergen adalah kutikula, organ seks, dan saluran cerna. Antigen yang terdapat dalam tubuh D.pteronyssinus terutama di dalam saluran cerna dan sebagian kutikula. Selain tubuh TDR telah dibuktikan feses TDR juga mempunyai sifat antigenik. Antigen yang berasal dari tubuh TDR masuk ke dalam tubuh manusia melalui penetrasi kulit, sedangkan yang berasal dari feses masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi.

Makanan yang masuk ke usus disekresikan sebagai antigen yang kuat. Pada kultur tungau Apiecksma mandapatkan debris tungau terdiri dari kutikula, telur dan partikel feses. Dari kultur tersbeut ternyata yang mengandung alergen Der p I hanya dari kutikula dan feses. Dalam masa 3 bulan hidup tungau diperkirakan setiap tungau menghasilkan 50 telur, 4 kutikula, dan 2000 partikel feses ( +20/hari). Kalkulasi itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa >95% alergen tungau berasal dari partikel feses. Allergen TDR pertama yang dimurnikan adalah Der p I dan Der f I yang terdapat dalam konsentrasi tinggi pada feses. Alergen tersebut merupakan glikoprotein yang labil pada suhu panas dan merupakan enzim pencernaan yang terdiri atas proteinase dan papain yang berasal dari kelenjar saluran cerna tungau. Alergen tersebut mempunyai berat molekul (BM)24 kilo Dalton (kDa). Alergen kedua (Der p II, Der f II) berasal dari badan tungau mempunyai BM 15 kDa, diameternya 250 mm, dan allergen tersebut termostabil. Dua alergen lainya yang kurang penting yaitu alergen III (derf III) dengan BM 30 kDa dan mempunyai struktur kimia sama dengan tripsin, sedangkan allergen IV mempunyai BM 60 kDa dengan struktur kimia sama dengan amilase.

Tungau mengandung alergen feses lebih dari 200 kali berat tubuhnya. Setiap garam debu mengandung 1000 tungau dan 250.000 tungau alergen dari butiran feses. Kurang lebih 80% penderita alergi TDR mempunyai antibodi IgE spesifik terhadap allergen kelompok I dan II secara klinis berkaitan dengan penyakit asma, dermatitis artopik, dan rintis alergik. Pajanan tungau sebanyak 100 sampai 500 tungau pergram atau 10 mg Derp I pergram debu merupakan faktor risiko terjadinya asma. Pajanan yang lama dengan 500 tungau pergram debu atau lebih mengakibatkan terjadinya respons antibodi IgE dan asma.

Isolasi TDR
Metode paling mudah untuk mendeteksi kehadiran tungau adalah dengan cara meletakan sejujmlah debu pada permukaan air dan memeriksanya dengan pembesaran 20 kali. Tungau mati dan yang hidup akan terlihat mengambang pada permukaan air tersebut. Untuk mengidentifikasi tungau digunakan jarum tungau untuk mengangkat tungau lalu tungau diletakan diatas kaca benda untuk dibuat preparat dengan menggunakan pewarnaan asma laktat 90% dan medium Hoyers.

Pemeriksaan TDR dengan cara flotasi (pengambangan) dilakukan dengan menimbang debu lalu debu disaring. Sebanyak 0,1 gram debu dimasukan kedalam tabung reaksi lalu ditambahkan etil alcohol 80% dikocok, dan dibiarkan selama 24 jam. Keesokan harinya supernatan dibuang kemudian didalam tabung reaksi dimasukan larutan NaC jenuh sebanyak 3ml dan dibiarkan selama 30 menit selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring diatas Buchner dan disedot dengan vacuum pump sampai kertas saring kering. Kertas saring yang telah kering diperiksa dibawah mikroskop streoskopik. TDR yang terlihat, diambil dengan menggunakan jarum tungau, lalu diletakan diatas kaca benda yang telah ditetesi larutan Hoyers, kemudian ditutup dengan kaca tutup.

Pemeriksaan tidak langsung dilakukan menurut metode Voorhorst, et al. Debu rumah disaring dengan saringan yang berdiameter 2,4 mm dan 0,075 mm kemudian digoyang/disentrifigasi selama 30 menit. Sisa debu yang tertinggal di saringan 0,075 mm diambil dan dimasukan kedalam 150 ml asam laktat 90%, lalu dipanaskan sampai mendidih selama 15 menit. Setelah dipanaskan tungau akan berada diatas, sedangkan partikel debu sisanya akan mengendap. Selanjutnya supernatan dipusing, lalu disaring dengan kertas saring. Kertas saring kemudian dibiarkan kering lalu diamati dibawah mikroskop cahaya. Pemeriksaan tidak langsung ini untuk menambah validitas penelitian sehingga tungau yang pada waktu pemeriksaan langsung belum berangkat karena geraknya yang cepat, dengan teknik ini diharapkan dapat terangkat sehingga jumlah tungau yang ditemukan dapat lebih banyak.

Cara lain adalah dengan meletakan 0,05 gram sampel debu dalam 30 ml laruan garam fisiologis yang ditambah lima tetes detergen. Dengan cara tersebut debu akan terpisah. Selanjutnya dilakukan teknik ultrasonick selama 20 menit. Suspensi dibilas dan disaring dengan saringan berukuran 45 mikron, kemudian diwarnai dengan kristal violet dan diperiksa dibawah mikroskop stereoskopik.

Pemeriksaan TDR juga dapat dilakukan dengan meletakan debu pada kertas DIN-A4 karena debu dapat menempel pada kertas tersebut. Kertas diperiksa pada pagi dan sore hari di bawah sinar lampu. Tungau akan memebuat bayangan pada kertas tersebut. Uji diagonistik lainya yaitu dipstick test glukosa (Acarex). Pemeriksaan itu mendeteksi feses TDR dengan cara membandingkan perubahan warna sampel.

Teknik Mengukur Alergen
Nilai alami pejanan terhadap inhalasi allergen sangat rendah, yaitu kurang dari 1 mg dan kira-kira 10 ng/m udara yang terinhalasi. Nilai allergen pada debu lantai berkisar antara 10 ng sampai 200 mg/g debu. Terdapat beberapa macam teknik untuk membandingkan potensi ekstra allergen, yaitu melalui isolasi allergen dan karakterisasi dengan menggunakan ekstrak encer allergen. Secara in vitro teknik tersebut dapat menggantikan uji kulit Karena dapat mengukur alergenistas total ekstrak allergen.

Inhibisi radioimmunoassay mengukur IgE spesifik dalam sorum penderita yang dicurigai mengidap alergi terhadap suatu allergen. Immunoblotting adalah teknik pengukuran dengan cara memisahkan eksatrak allergen yang kemudian ditransfer ke kertas Immunoelectrophoresis digunakan dengan cara memisahkan ekstrak alergen melalui elektroporesis gel yang diputar 90 derajat dan ditambah dengan gel antiserum kelinci. Cara pengukuran lainya yaitu cloning alergen melalui teknik DNA rekombinan. Sebagai hasil kemajuan dibidang alergi saat ini telah dapat diukur kadar allergen TDR didalam debu rumah.

Diketahui bahwa kadar allergen Der.p I (D. peteronyssinus I) dan atau (Der.f I(D. farinae I) sebesar 2 mg/g debu rumah telah menimbulkan sentisasi pada manusia, sedangkan kadar diatas 10 mg/g debu rumah merupakan faktor resiko untuk mencetuskan serangan asma akut. Selanjutnya beberapa penelitian menunjukan bahwa makin tinggi kadar alergen TDR debu rumah, makin tinggi resiko terjadinya sentisasi. Demikian pula makin tinggi kadar alergen debu rumah, makin tinggi prevalensi asma.

Tersedianya fasilitas pengukuran kadar alergen debu rumah ini memungkinkan penatalaksanaan penyakit alergi umumnya dan asma khususnya menjadi lebih rasional. Pengukuran alergen debu rumah tidak saja untuk mengetahui sumber alergen dari debu rumah, tapi juga dapat memantau manfaat intervensi terhadap penurunan kadar allergen bila dilakukan secara serial. Cara tersebut memungkinkan penilaian lingkungan hidup penderita dan menghindari allergen tersangka yang secara potensial dapat menimbulkan gejala saluran nafas.

Peran Alergen TDR pada asma
Asma menjadi masalah besar di seluruh dunia. Penyakit pernafasan ini dapat mengenai seluruh kelompok umur, dan anak-anak merupakan kelompok yang paling sering terkena. Data US National Health Interview Survey pada tahun 1981 memperlihatkan bahawa 3,2% anak-anak umur dibawah 18 tahun menderita asma dan jumlahnya meningkat menjadi 4,3% pada tahun 1988. jumlah keseluruhan asma di Amerika Serikat pada tahun1998 diperkirakan 5,8-7,2%. Di Indonesia prevalensi asma sekitar 6-7%, dan reaksi sensitivitas kulit trhadap TDR cukup tinggi yaitu 58-80%.

Selama dua tahun pertama kehidupan tidak terdapat hubungan antara sentisasi alergen dengan asma, namun terdapat peningkatan jumlah anak-anak dengan gejala yang berhubungan dengan setisasi alergen yang terus berlanjut sampai umur tujuh tahun. Asma dapat diinisiasi dan diprovakasi oleh allergen yang terdapat setiap harinya disekeliling kita. Pajanan allergen sepert TDR, kecoa, bulu kucing, dan asap rokok dianggap sebagi timbulnya gejala asma. Alergan utama yang brhubungan dengan asma atopi adalah TDR.

Penelitian yang dilakukan German Multi Centre Atopi (MAS) menyebutkan bahwa terdapat hubungan erat antara sensitiasi alergen kucing dan tungau. Penelitian lain dari Wales, Inggris menyebutkan bahwa pajanan alergen pada anak dibawah 5 tahun berhubungan dengan asma dan meningkat secara bermakana pada umur 11 tahun. Penelitian lain yang dilakukan oleh sporik et al. pada 67 orang anak yang mempunyai riwayat atopi dalam keluarga menunjukan bahwa terdapat respons bermakna antara nilai Der p I dengan risiko sentisasi terhadap TDR. Penelitian tersebut juga menunjukan bahwa bayi yang terpajan allergen TDR dengan konsetrasi tinggi selama satu tahun pertama kehidupanya mempunyai risiko lebih besar untuk berkembang menjadi asma pada umur 11 tahun.

Hubungan antara pajanan allergen dengan asma atopi didukung oleh bukti behwa menghindari pajanan atau control lingkungan merupakan penatalaksanaan asma yang efektif. Peranan tungau terhadap alergi pada manusia pertama kali didokumentasikan oleh cooked an Kern tahun 1920 yang menemukan bahwa debu dari tas menghasilkan reaksi kulit positif pada penderita asma. Pada tahun 1967, Ishizaka mengidentifikasi IgE sebagai pembawa aktivitas reagenik dalam serum penderita hay fever. Identifikasi terhadap peranan IgE dalam serum dan merangsang penelitian tentang penyakit alergi.

Di Indonesia 90% penderita asma rentan terhadap debu rumah dan TDR. Di Jepang penderita yang rentan tercatat 70%-80%. Di Australia, 90% penderita asma juga alergi terhadap TDR. Dari angka-angka tersebut dapat dilihat bahwa penderita umumnya mempunyai tingkat kepekaan tinggi terhadap TDR. Alergi pada saluran pernafasan adalah manifestasi alergi terbanyak dibandingkan dengan bentuk alergi lain. Pada uji kulit dengan menggunakan ekstrak TDR D.pteronyssinus di Poli Alergi Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya, Mahdi melaporkan bahwa 96,57% penderita asma bronikal memberi hasil fositif.

Dengan menggunakan ekstrak yang sama Baratawidjaja mendapatkan 66,81% uji kulit positif terhadap 60 penderita asma dan rhinitis alergi yang berobat diklinik alergi swasta. Pada penelitian uji kulit terhadap penderita asma anak didapatkan 96,4% uji kulit positif terhadap anak-anak yang berumur kurang dari 14 tahun di Rumah Sakit Pugeran Yogyakarta. Penelitian Konthen yang dilakukan didesa Banyuatis, Bali terhadap anak-anak berumur 6-20 tahun menunjukan 50% uji kulit positif. Matondang mendapatkan hasil uji kulit positif sebanyak 92,8% di RSCM.

Uji kulit positif terhadap tungau gudang lebih besar daripada terhadap D. pteronyssinus, sehungga dapat disimpulkan bahwa tungau gudang juga merupakan allergen yang penting dalam debu rumah. Uji kulit terhadap allergen TDR yang menunjukan reaksi positif pada penderita asma berkisar antara 58% sampai 90%. Di laboraturium uji provokasi bronkus dengan TDR sering kali dilakukan untuk membuktikan hubungan sebab akibat allergen dan asma.

Pada penderita asma yang diprovokasi oleh allergen D. pteronissinus terjadi reaksi alergi fase cepat dan fase lambat. Dari 69 penderita asma anak yang diprovokasi dengan allergen yang sama, reaksi alergi fase cepat terjadi pada 62(87%) penderita dan fase lambat pada 52(73%) penderita. Setelah terjadi reaksi alergi fase lambat, penderita akan menunjukan reaktivitas bronkus untuk beberapa hari sampai minggu. Dalam klinik peristiwa ini diartikan bahwa setelah serangan asma akut, gejala asma bisa berlangsung beberapa hari sampai minggu. Gejala tersebut bisa menjadi kronis bila panjanan dengan allergen tersangka berlangsung terus menerus.

Penelitian diruang gawat darurat menunjukan bahwa penderita yang mendapat serangan asma akut menunjukan kadar serum IgE terhadap allergen TDR yang jauh lebih tinggi dibandingkan kontrolnya khususnya pada penderita asma kurang dari 50 tahun. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa allergen inhalan merupakan factor risiko terjadinya serangan asma akut. Gagasan lain akibat sensitisasi terhadap TDR adalah rhinitis alergi yang merupakan alergi tife I yang terlokalisasi di daerah hidung dan konjungtiva,yang memberikan gejala sering berlebihan, mata panas dan berair. Penyebabnya adalah terjadinya reaksi anitbodi IgE dengan antigen spesifik (alergen) pada permukaan sel mast di dalam mukosa hidung. Reaksi tersebut menyebabkan dibebaskannya mediator kompleks inflemasi yaitu histamin.

Diagnosis asma atopi ditegakkan melalui anamnesisi, pemeriksaan fisik, uji kulit, pemeriksaan Ig total, RAST, jumlah eosinofil, uji provokasi, dan spirometri. Penatalaksanaan untuk asma atopik adalah menghindari pajanan dan imunoterapi.

Dermatitis Atopik
Atopi adalah kelainan pada seseorang dengan keadaan hipersensitifitas yang diturunkan secra genetik berupa kecenderungan untuk membentuk IgE dan kerentanan untuk terjadinya beberapa penyakit, misalnya asma bronkial, rinitis alergik, hay fever, konjungtivis alergik, dan dermatitis atopik. Atopi biasanya diidentifikasikan melalui uji Prick pada kulit dengan menggunakan ekstrak dari alergen. Peningkatan konsentrasi total IgE spesifik terhadap alergen juga dapat ditemukan dalam contoh serum penderita yang atopi.

Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit pada bayi, anak dan dewasa yang berlangsung kronik dan berulang, ditandai dengan rasa gatal pada tempat predileksi tertentu. Gambaran klinis dermatitis atopik bervariasi sesuai dengan usia.

Penghindaran dan Pemberantasan Alergen
Untuk mencegah penyakit alergi cara terbaik adalah menghindari alergen karena itu upaya untuk mengurangi pajanan debuu rumah adalah metode yang digunakan untuk mengurangi serangan asma. Penghindaran TDR dapat mengurangi gejala asma dan obat yang dipakai penderita asal saja penghindaran TDR dilakukan secara agresif. Pada penderita rinitis,dermatits atopik dn asma atopik, menghindari pajanan alergen TDR dapat mengurangi frekwensi serangan asma, hiperaktivitas bronkus dan kapasitas alergen untuk memprovokasi asma.
Menghindari pajanan (avoidance) dan pemberantasan TDR dapat dilakukan dengan cara :

  • Menjaga kebersihan
    Untuk menghindari TDR, rumah dibersihkan dari debu dengan cara disapu dan dipel setiap hari dan perabot rumah dibersihkan dengan lap basah atau disedot dengan penyedot debu. Jangan membersihkan rumah dengan kemoceng karena debu tidak hilang tapi justru beterbangan. Perabot kamar tidur harus sesederhanan mungkin. Hindari pemakaian karpet dan jangan menggunakan beludru atau wol sebagian jok kursi dan sofa. Jangan meletakkan barang-barang seperti buku, pakaian, tumpukan kertas, mainan, botol dan lain-lain di atas meja, kursi dan sofa oleh karena debu mudah menempel pada barang-barang tersebut. barang-barang tersebut sebaiknya disimapn di dalam lemari yang tertutup rapat. Gorden dicuci sekurang-kurangnya setiap tiga bulan, AC diservis setiap 6 bulan dan kawat nyamuk dibersihkan setiap 3 bulan.

    Manusia melewatkan waktunya paling banyak di dalam kamar tidur (biasanya manusia tidur 6-8 jam sehari), maka kebersihan kamar tidur perlu diperhatikan TDR mudah berkembang biak di dak=lam kasur dan bantal yang berisi kapuk, oleh karena itu sebaiknya kasur dan bantal diganti dengan yang terbuat dari karet busa atau poliester. Jika hal ini tidak dapat dilaksanakan, maka kasur dan bantal yang berisi kapuk dibungkus dengan plastik atau karet sebelum dibungkus seprei dan sarung bantal Seprei dan sarung bantal diganti sekurang-kurangnya seminggu sekali sedangkan kasur, bantal dan guling dijemur seminggu sekali.
  • Memindahkan penderita ke daerah yang lebih tinggi
    Upaya mengurangi pajanan alergi dengan memindahkan penderita ke daerah yang lebih tinggi dan kelembaban rendah telah dilakukan di Davos, Swiss. Dengan upaya tersebut penderita asma mengalami perbaikan dans serangan asma berkurang. Terdapat hubungan antara ketinggian suatu daerah dengan populasi TDR. Makin tinggi suatu daerah, jumlah TDR makin sedikit, sehingga kadar serum IgE penderita juga makin rendah. Penelitian ini menyokong penelitian Kerrebijn yang melaporkan perbaikan gejala maupun menurunnya reaktivitas bronkus penderita asma anak yang menetap di Davos, Swiss selama 1 tahun
  • Mengatur kelembaban
    Untuk mengurangi kelembaban rumah, ventilasi harus diperbaiki. Upayakan agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah dengan membuka jendela, memasang genteng kaca atau fiberglass. Pengurangan populasi TDR juga dapat dilakukan dengan menggunakan AC untuk mengurangi kelembaban udara. Mempertahankan kelembaban di bawah 35% selama sedikitnya 2 jam per hari sampai 8 jam dapat memperlamabt pertumbuhan populasi TDR
  • Penggunaan zat kimia
    Akarisida seperti benzil benzoat, pirimifos metil, permetin, fenil salisilat adalah zat kimia yang dapat membunuh tungau. Benzil benzoat terdapat dalam dua bentuk yaitu bentuk serbuk danb entuk busa. Benzil benzoat (5%) serbuk dengan ukuran 200 mikron digunakan pada karpet dan bahan-bahan tekstil yang dipakai sebagai alas lantai, sedangkan bentuk busa (2,6%) digunakan untuk kasur, bahan tekstil yang halus, perabot rumah tangga dan mainan anak-anak. Mortalitas tungau setelah pemakaian benzil benzoat adalah 100% tetapi setelah tiga bulan menurun menjadi 60%. Fenil salisilat yang strukturnya sama dengan benzil benzoat ternyata lebih efektif. Zat kimia lain adalah asam tamat yang dapat mengubah alergen dari feses tungau menjadi lebih hidrofik dan berkurang sifat alergeniknya.
Pengarahan Penjemuran Kasur Terhadap Populasi TDR
Bila pada penghindaran penderita dijauhkan dari TDR, maka pada upaya pemberantasan TDR dimusnahkan. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan zat kimia, pengaturan suhu dan kelembaban ruangan, namun harus diingat bahwa upaya pemberantasan degan zat kimia tersebut harus efektif untuk karpet, tetapi kurang efektif untuk kasur.

Selain itu pemakaian zat kimia jangka panjang dan berulang bisa memberikan efek samping. Demikian pula pengaturan suhu dan kelembaban ruangan memang daapt mengurangi populasi TDR, tetapi cara ini memrlukan lebih banyak biaya, sehingga tidak dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan cara lain yang murah, efektif dana dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat antara lain menjemur kasur.

Kasur kapuk adalah perabot rumah tangga yang perlu mendapat perhatian khuus karena TDR paling banyak ditemukan pada kasur dan jenis kapuk yang paling banyak digunakan masyarakat di Indonesia, khususnya golongan masyarakat menengah ke bawah adalah kasur kapuk. Penelitian populasi TDR pada berbagai jenis kasur seperti kasur kapuk, busa dan pegas menunjukkan bahwa pada kasur kapuk paling banyak mengandung TDR terutama D.pteronyssinus dan D.farinare.

Pemberantasan TDR dapat dilakukan dengan pemanasan habitat TDR. Apabila tungau dipanaskan selama 6 jam dengan suhu 51oC dan kelembaban udara 60%, maka tungau akna mati. Karena habitat utama TDR adalah kasur kapuk, maka bila kasur kapuk dipanaskan tungau akan mati. Di Indonesia maeyarakat memiliki kebiasaan menjemur kasur sambil dipukul-pukul karena dengan menjemur kasur samapi suhu diatas 32oC, maka kasur menjadi empuk kembali dan kering. Sinar matahari yang mengenai permukaan kasur mengakibatkan kasur terpajan sinar matahari dengan suhu permukaan rata-rata 60oC selama 4 jam pajanan. Selanjutnay suhu akan menurun pada penjemuran ke-5 samapi ke-6 menjadi 56oC. Sifat konduksi mengakibatkan suhu kasur bagian tengah mengalami kenaikan walaupun tidak secepat dipermukaan. suhu rata-rata bagian tengah setelah 4 jam terpajan oleh sinar matahari adalah 38oC setelah penjemuran ke-5 dan ke-6. suhu kasur bagian bawah juga akan naik dari 27oC menajdi rata-rata 32oC.

Bila kasur dipanaskan, tungau dewasa maupaun tungau larva akan berusaha mencari tempat perlindungan dengan jalan menyelinap diantara serat-serat kapuk. Demikian juga dengan pnejemuran kasur yang dibalik-balilk memungkinkan TDR berpindah-pindah mencari tempat yang lebih dingin. Namun demikian stadium telur tidak dapat bergerak dan menerima pajanan sinar matahari sehingga protein telur mengalami aglutinasi. Akibatnya telur akan rusak dan tidak dapat menetas lagi. Sehubungan dengan hal tersebut dengan menjemur kasur secara teratur seminggu sekali maka tidak ada lagi TDR baru.

Kadar alergen untuk sementara tidak akan turun kerna baik TDR yang hidup, mati maupaun fesesnya tetap bersifat alergen dan alergen TDR atahn terhadap pemanasan. umur kausr juga menentukan lama tidaknya penurunan kadar alergen TDR. Makin lama umur kasur makin banyak investasi TDR beserta fesesnya yangmasuk diantara celah-celah serat kapuk maupun pembungkusnya sehingga sukar diharapkan alergen ini akan terlepas. Kasur yang masa penggunaannya kurang dari 1 tahun jarang dihuni TDR,s edangkan kasur yang masa penggunaannya 2-4 tahun sering dihuni TDR. Hal ini disebabkan karena keadaan kasur kapuk yang umurnya kurang dari 1 tahun umumnya masih baik karena reaksi antara daki, keringat dan kapuk masih ringan, sedangkan kasur yang berumur 4 tahun telah kumuh karena terjadi reaksi antara daki, keringat dan kasur kapuk yang telah berlangsung lama.

Sumber : Majalah Kedokteran Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar